Senin, 26 Juli 2010

PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN PP FATAYAT NU




Sebagian Besar hutan Indonesia memang sudah rusak dan semakin gundul. Hal tersebut mengakibatkan banyak lahan yang kritis yang menyebabkan bencana longsor dan banjir semakin sering terjadi di negeri ini dengan banyak korban nyawa maupun harta. Bahkan ke depan, bencana yang akan dirasakan umat manusia di muka bumi ini akan semakin dahsyat karena ancaman pemanasan global akibat semakin rusaknya lingkungan alam dan menipisnya lapisan ozon.

Dengan kondisi demikian, kita memang harus berbuat sesuatu jika tidak ingin semakin menderita akibat terjangan bencana yang akan semakin dahsyat ini. Salah satunya adalah melakukan reboisasi hutan-hutan yang gundul dan penghijauan lahan-lahan yang sudah kritis, terutama lahan yang berada di daerah aliran sungai (DAS).


Beberapa peristiwa yang dapat kita lihat sebagai akibat dari rusaknya lingkungan alam di beberapa daerah di Indonesia, seperti : (1) Kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat. (2) Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh tahun yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja.

Itu baru dari sisi kelangkaan air. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itupun sangat tergantung dari musim.

Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual.

Ironisnya, dalam situasi udara yang makin panas, orang lalu mencari cara untuk mendinginkannya, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Pendingin udara adalah pilihan pragmatis untuk ini, tetapi alat inipun hanya bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat miskin jelas tak bisa mengelak dari kegerahan.

Ironisnya, penggunaan pendingin udara yang makin masif dan intensif pada sebagian besar rumah tangga di perkotaan secara akumulatif justru mendorong terciptanya bumi yang makin panas akibat gas-gas yang dihasilkan oleh pendingin udara tersebut tidak ramah lingkungan. Sudah begitu, penggunaan pendingin udara yang intensif itu juga memicu meningkatnya kebutuhan listrik yang terus membesar –yang lagi-lagi ironisnya - sementara listrik tersebut diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang tak ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi terbesar pada pemanasan secara global.

Lingkaran setan ini jelas menggiring masyarakat yang paling miskin dan tak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang memadai menjadi korban. Jumlah masyarakat yang kian tersisih dari lingkaran ini niscaya akan terus membesar karena perseteruan dan kata sepakat tentang upaya kongkrit memerangi perubahan iklim ini mengalami kebuntuan yang akut.

Untuk mengatasi masalah lingkungan tersebut, salah satu program yang dapat dilakukan adalaha PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN, dengan beragam kegiatan yang komprehenshif, antara lain Gerakan Penanaman Sejuta Pohon di Lingkungan dan Kebun Kita. Dalam kegiatan ini diupayakan masyarakat terutama perempuan dan generasi muda, khususnya di lingkungan NU, ikut berpartisipasi, serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat di lingkungannya agar menyadari pentingnya melakukan penghijauan, merawat dan memelihara lingkungan serta memanfaatkan sumberdaya alam dan energi “secukupnya”, tidak berlebihan.

Keberhasilan kegiatan ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, sehingga diperlukan adanya kebijakan yang menjamin dan memfasilitasi peran serta masyarakat dalam gerakan tersebut. Fatayat NU sebagai elemen bangsa dengan struktur kepengerusuhan berada di 32 propinsi dan di sekitar 333 cabang tingkat kabupaten/ kota, 923 anak cabang di tingkat kecamatan dan puluhan ribu ranting di desa merasa terpanggil untuk menjadi penggerak masyarakat di lingkungannya masing-masing. Dengan gerakan tersebut diharapkan masyarakat dapat berperan aktif dalam melestarikan pohon/hutan dan lingkungan sesuai dengan tingkatannya masing-masing. sumber:http://fatayatinfo.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar